Aku Guru (1) -Investasi Hidup-
“Ustadz….ustadz” panggil seorang anak kelas 1 smp dari balik tirai. Ternyata ia minta diajarin cara pakai dasi. Sudah sedari tadi saya blak-balik angkat pantat dari persemedianku di depan laptop terkasih. Hati ini tak kuasa untuk cuek, mengabaikan panggilan bocah unyu-unyu itu. mereka masih sangat tergantung dan membutuhkan bantuan orang lain. Maklum saja, mereka terlahir dari balik istana penuh duit, mengenyam begitu banyak kemewahan hidup sejak kecil dan orang tua yang selalu memanjakan mereka. Membuat kehidupan mereka terkatung-katung dan amburadul bilamana taka da yang menemani dan mengawasi.
Tugas kita buka sekedar guru pegasuh atau bocah siter. Itu yang saya pahami dari wejangan bapak Pembina setiap malam rabu. Jelas sangat rugi bila kita menempatkan diri hanya sekedar menjadi asisten kesehariaannya. Kadang tegas membakar motivasi, kadang friendly membaur tanpa melebur dan terkadang jadi guru berkasihkan ayah dan ibu. 5 profesi dalam satu tubuh dan waktu. Memang guru keren. Eitss tapi tak seindah yang terekspetasikan. Peluh, cape, penat, kesel tumpukan tugas dan RPP tak pernah absen menemani.
Lalu apa yang membuat diri ini masih bertahan?
Selain karena kewajiban sebagai balas jasa 3 porsi makan setiap hari selama 3 tahun yang lalu. Boser terbesar dari ekspedisi mengasuh 6 anak bahkan terkadang kenyataannya jadi 12 anak, adalah sebagai ajang persiapan. Iya, menurut saya ini adalah daurah pra-nikah yang sedang saya ikuti. Bagaimana cara mendidik anak, menyabar-nyabarkan diri melihat polah tingkah bocah yang anaeh-aneh dan istiqomah untuk terus perhatian meluangkan waktu untuk membenarkan salah mereka. Apalagi sudah menjadi slogan yang selalu saya tenteng-tenteng dengan bangga bahwa anak saya harus bisa menjelma menjadi shalahudin abad 21. Maka jari jemari ini yang dulunya masih sering keram kalau disuruh megang anak-anak sudah harus mulai di renggangin persendiaannya dengan pemanasan kecil. Pegang anak orang dulu. Dan memang benar sekarang sedikit banyaknya saya jadi lebih terbiasa merangkul Pundak mungil bocah, berusaha menyesuaikan diri dengan bahasa mereka yang masih polos dan menjadi pribadi yang disukai oleh anak-anak. Walaupun belum semua prucil-prucil itu bisa saya taklukan sebagaimana panji sang penakluk yang berhasil meluluhkan hati binatang-binatang buas sehingga rela dikecup keningnya oleh sang panji. Tapi insyaAllah skill-skill itu pasti akan berkembang dan berkembang.
Alasan selanjutnya tetap memilih betah menjalani profesi baru saya adalah karena feenya besar. Yang saya maksud bukan gaji bulanan. Tapi mereka adalah investasi yang sangat besar untuk memanen berton-ton pahala. 6-12 anak hidup Bersama satu kamar. Ini adalah kesempatan berlian untuk mengformat ulang system mereka kemudian memasukan data-data baru dalam diri mereka. Dan data-data itu sekehendak kita. Ingin dijadikan apa anak-anak yang tak berdosa itu? kalau saya. Saya ingin menjadikan mereka alat perealisasian mimpi-mimpi saya yang terlalu tinggi. Bukannya saya merasa tak kuasa untuk mencapainya, tapi tak salah bukan apabila kita siapkan plan B. takut-takut Allah tidak mengabulkan hari-hari saya disampaikan untuk menuai impian yang berat nan tinggi. Sebagaimana kata pepatah otak dua orang atau lebih akan bisa dengan mudah menuntaskan sebuah problem. Maka mimpi besar itu akan semaking mungkin bila dikeroyok oleh 6 orang yang telah terprogram sama.
“Bro ente ga bosen, ga pernah keluar dari sini” celetuk salah seorang teman. Yah, gimana mau bosen sehari-hari sama mereka yang imut dan lucu apalagi saya lagi investasi. Kalau orang sudah mencintai dan memaknai apa yang dia lakukan takan ada kata bosan dari kamus hidupnya.
Komentar
Posting Komentar