Aku Guru (81) -Guru Hebat-
Selalu terngiang perkataan sang guru besar saat mempelajari sebuah buku tarbiyah yang ditulis dengan ujung pena pengalaman sehingga bisa langsung terrefleksikan pada amal perbuatan, peletak puzzle puzzle impian yang setiap potongannya bisa menaungi begitu banyak mimpi-mimpi orang. "Marah dan cuek adalah tanda ketidak ikhlaskan dalam mendidik". Sebisa mungkin saya yang masih terus berusaha menjadi murid yang baik, mempraktekkannya.
Seiring berjalannya waktu, ternyata kaidah yang kita dapatkan dari berlembar-lembar kitab nahwu yang memang di-sks-kan tidak untuk diselesaikan, walaupun belum tuntas tapi banyak faedah yag kita dapatkan. Salah satunya bahwa dari setiap hukum dan kaidah pasti ada pengecualian. Begitu juga dengan nasehat yang telah diwejangkan tadi. Tak selamanya seperti itu. Kadang bisa jadi marah dan cuek itu adalah salah satu cara agar suatu nilai bisa tertanamkan, adalah salah satu metode dalam memberi suapan nutrisi pendidikan. Semua tergantung apa yang dimaksudkan sang pendidik.
Pagi itu saya masuk di jam pertama dan kedua. Mengajar bahasa Indonesia disalah satu kelas favorit saya. Agregat semangat masih tinggi, termo kebahagiaan pun masih diatas rata. Jam selesai, waktunya berpindah pelabuhan. Masih dengan membawa sisa semangat yang masih max, akan tetapi kelas yang saya tuju adalah lawan kata dari kelas sebelumnya. Dua kelas yang bersebelahan, akan tetapi atmosfer semangat keduanya sangat kontras tertampakkan.
Langkah kaki saya semakin mendekat ke arah gerombolan anak anak yang sedang berkerumun di depan kelas. Tepat ketika pandangan mereka melihat ke arah gurunya ini, salah satu dari mereka menyeletuk "cik, ya Allah" dengan nada ogahan sambil meledek, didaur dengan ceketukan-celetukan dari teman-temannya, hingga ketika telah masuk didalam kelas pun masih seperti itu. Semangat yang sudah terpupuk sejak pagi pun seakan dihempaskan dari puncaknya hingga terpelanting jatuh ke dasarnya.
Kalau mereka tak suka, siapa juga yang butuh dengan pembelajaran ini. Lagi pula kelas super alot ini sekali kaki harus diberi pelajaran. Bisik saya geram dalam hati. "Yang tadi bilang seperti itu, sialhkan keluar!" Semua hening "mereka yang keluar atau ustadz yang keluar?". Segera saya melanglang keluar dari kelas yang telah berubah menjadi tungku yang sangat panas.
Untuk pertama kalinya kemarahan saya meluap pada saat pembelajaran.
Entah mungkin karena saya yang sudah terlalu dimanjakan dengan murid-murid yang penurut atau karena mereka sudah melampaui batas seorang penuntut ilmu agama.
Pagi itu mentari menyinarkan cahaya pembelajaran bagi saya, anginnya merayu lembut membisikan sebuah isyarat yang nasehatnya menggelantungi daun telinga saya, agar lebih bersabar. Ia desirkan pula seorang pahlawan, sosok dibalik kelas itu yang hari-harinya dimigrenkan dengan perilaku luar biasa para penghuninya. Tebal sekali darah kesabarannya, sehingga hal yang saya alami itu sudah tidak lagi memberi damage yang berarti bagi mentalnya. Dialah wali kelas terhebat bagi kelas yang super hebat, sesuai dengan namanya 'Muhammad Al Fatih' panglima terbaik bersama pasukan terbaiknya. Darinya saya belajar kesabaran, kasih tulus ikhkas sang guru dan pengorbanan. Dialah salah satu sosok guru hebat yang terembunyikan didalam kerang kerang mutiara didalam laut yang gulita.
Komentar
Posting Komentar