3 orang dalam lapangan pendidikan

 

Terjun bebas dalam dunia Pendidikan ini mengakibatkan orang orang di dalamnya terbagi menjadi tiga golongan; orang orang yang memiliki jiwa pendidik dan ingin benar benar menceburkan diri di dalamnya dengan memberikan apa pun yang dia miliki. Yang kedua, orang yang memiliki impian besar lainnya dan ia hanya menjadikan lapangan ini sebagai halte penunggu bus keberangkatannya selanjutnya dan orang yang setengah setengah sehingga terjebak dalam keputusan mereka yang anget angetan.

Hanya orang jenis pertama yang akan benar benar menikmati, memberikan seluruh hidupnya dan totalitas dalam mendidik dengan terus memperbaiki produk didikan yang ia berikan yang terus berpatok pada kebenaran yang ia cari.

Orang jenis pertama ini, semua yang ia lakukan adalah dengan tujuan yang satu. Yaitu bagaimana jerih payah yang ia berikan menghasilkan sumringah senyum kebahagiaan di akhir nanti.

Jikalau seorang arsitektur Bahagia Ketika melihat bagunan yang didesain atas rancangannya terealisasikan menjadi nyata dan dinikmati oleh banyak pelanjong yang sekedar mengambil jepretan foto atau benar benar mengambil manfaat dari bangunannya.

Begitu juga pendidik yang memiliki jiwa itu, ia akan selalu Bahagia dan terus Bahagia. Tak pernah ada habis dan berhentinya. Kerena setiap Langkah yang ia ayunkan, apapun itu. ia selalu tujukan untuk Pendidikan, pengembangan diri sebagai pendidik yang baik dan pencariannya akan konsep Pendidikan terbaik yang harus ia persembahkan.

Kesempurnaan jiwa pendidik yang satu ini sangat beriringan kuat dengan kesempurnaan jiwa seorang muslim. Karena hakikatnya seorang muslim adalah orang yang selalu ingin memberi manfaat sebanyak dan sebaik mungkin. Maka dimanapun ia ditempatkan, produk terbaiklah yang akan ia persembahkan.

Kemudian bagaimana caranya? Slogan Kembali pada Al Qur’an dan Sunnah jangan sampai hanya sekedar dimulut akan tetapi jauh dalam hati dan implementasi sesunggunya.

Slogan itu bukan kata yang mudah, sebagaimana para salaf mengucapkannya. Karena mereka hakikatnya adalah orang yang memang berhak dan pantas menimba langsung dari Al Qur’an dan sunnah. Sedangkan kita? Bahasa arab saja masih blepotan.

Juga yang kita lakukan bukan hanya menerima suapan demi suapan dari ustadz atau pakar yang sudah duluan, karena selain keterbatasan media dan materi yang ada juga hanya akan menyempitkan wawasan kita. Tapi, juga melatih otak untuk mencari dan berfikir. Berusaha terjun langsung ke dalam literatur literatur terpercaya dan melatih diri untuk menyimpulkannya sendiri.

Yang intinya semua itu tidak akan terlaksana kecuali pada diri muslim sejati ada salah satu sifat dominannya, yaitu haus akan ilmu, jiwa tholibul ‘ilmi. Atau dalam Bahasa kita lebih dikenal dengan jiwa literasi yang tinggi.

Jiwa literasi setiap orang berbeda beda kadar kepekatannya, dari kekuatan yang tingkat tinggi sampai hanya literasi sekedar hobi membaca sana sini. Jiwa literasi yang paling tinggi itu apabila dikaitkan dengan sesuatu yang juga tinggi tak tersaingi. Yaitu Allah, Rasul dan Islam. Maka jiwa itu juga akan ikut melambung mengangkasa.

Sebagaimana Zaid bin Tsabit kecil yang mempu menghatamkan Bahasa Ibrani dalam kurun waktu 2 pekan. Apa motif dibaliknya? Rasa dan jiwa yang kuat untuk bisa berbakti kepada Rasul dan Islam sebagaimana para sahabat Nabi senior yang berkhidmat dengan jiwa dan tenaganya dibawah kilatan pedang yang konsekuensinya adalah hidup dan mati.

Maka tanamkan jiwa bangga, semangat atas keislaman, Allah dan RasulNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Problematika Pelik

Pendidikan, jangan pandang sebelah mata

Murabbi sejati