Bukan sekedar bermanfaat

 

Setiap muslim memang sudah seyogyanya menjadikan amal shalih yang bermanfaat sebagai tujuan dan penggerak setiap Langkah hidupnya. Entah itu benar benar tekad dalam hati atau minimalnya sebagai pemanis di lisan Ketika dilontarkan padanya suatu pertanyaan “Apa tujuan hidupmu?” mayoritas pasti akan menjawab memberi manfaat.

Akan tetapi yang perlu ditanyakan ulang adalah manfaat yang macam mana yang akan dikontribusikan itu.

Jikalau sekedar memberi manfaat saja sudah pasti semua bisa melakukan. Akan tetapi, tujuan utama pemberian manfaatan kita adalah munculnya amal shalih yang itu akan diterima oleh Allah.

Gurunda saya pernah menyampaikan bahwa amal shalih adalah amalan yang sesuai pesanan, bukan amalan yang penting jadi, atau sekarepe dewek. Karena amalan itu ditujukan kepada Rabb semesta alam maka standarnya juga tidak boleh hanya sekedarnya, atau nasional atau bahkan internasional. Karena semua standar itu sangat terpaut dengan ruang dan waktu serta tidak memiliki satuan baku.

Maka satu satunya standar yang harus digunakan untuk menyamakan diterimanya amalan shalih adalah standar Al Qur’an dan Sunnah yang telah teruji berabad abad tahun hingga akhir zaman kelak.

Muncul pertanyaan lagi, bagaimana kita mengetahui standar itu? keterbatasan ilmu dan pemahaman kita menghalangi kita agar bisa langsung menimba dari dua sumur jernih itu, sehingga kita harus meminta bantuan dari ember ember yang sudah ditimba oleh para ulama, mufassirin, para pakar dan peneliti yang Tsiqah. Sehingga barulah kitab isa tahu bagaimana standar amal shalih itu.

Banyak kesalahan dalam memandang amal shalih. Ada yang menyebutnya hanya pada tataran ibadah mahdzoh, dan menafikannya pada yang lain. Padahal arti sesungguhnya dari amal shalih adalah sangat luas cakupannya, menyentuh segala aspek dalam kehidupan.

Ada juga yang menyebutnya hanya sekedar dengan istilah amal ikhlas. yang penting ikhlas, totalitas, ga berharap pamrih, pasti jadi. Kita lupa bahwa sisi lain dari sayarat diterimanya amalan adalah As Showab atau Mutaba’ah. Harus sesuai dengan tuntunan Rasul.

Sesuai tuntunan Rasul itu bukan sekedar mengamalkan apa yang telah Rasul amalkan pada zamannya. Tapi memahami konsep, maqasid, nilai, turunan turunannya yang dikembangkan pada setiap zamannya. Tentunya bukan sembarangan orang bisa menggalinya. Semua itu telah ada mungkin beberapa masih terus butuh pengembangan lebih lanjut.

Akan tetapi jauhnya kita dari Masdar ilmu dan khazanah keislaman, serta terpukaunya kita dengan bangunan peradaban semu barat membuat kita terlalu mengagung agungkannya kemudian menganggap As Shawab yang harus ditempuh adalah dengan metode dan jalan mereka.

Hal ini telah menjamah hingga berbagai hal; politik, ekonomi, hiburan, keilmuan hingga Pendidikan yang menjadi sumber dari berbagai ketimpangan peradaban hari ini.

Saya belum berani memperpanjang kalam dan menyalahkan tanpa memebri solusi. mengembalikan itu semua berarti akan mengembalikan kejayaan Islam. Itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah, tapi bukan berarti sulit untuk dilakukan. Tugas kita hanya melakukan sebatas maksimal ajal dan kemampuan yang kita miliki.

Mari kita sama sama berjuang, pada jalan kita masing masing dengan konsep dasar keilmuan dan keimanan agar setiap Langkah ini selalu terbimbing olehNya.

Selamat berjuang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Problematika Pelik

Pendidikan, jangan pandang sebelah mata

Murabbi sejati